Susu merupakan bahan pangan bernilai gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kambing dan kuda, namun yang lazim dikonsumsi umumnya adalah susu yang berasal dari sapi. Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Susu mengandung protein, asam lemak, mineral, dan vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Manfaat susu bagi manusia antara lain menunjang pertumbuhan, mencegah osteoporosis, dan berbagai manfaat lain, sehingga baik dikonsumsi sepanjang usia. Untuk dapat dikonsumsi susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme baik patogen maupun non patogen dari lingkungan. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Gangguan kesehatan atau penyakit yang terjadi akibat mengonsumsi pangan yang mengandung mikroorganisme patogen dikenal dengan foodborne disease atau foodborne illness. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) dapat terjadi akibat intoksikasi makanan (food intoxication), infeksi makanan (food infection), dan toksikoinfeksi (toxicoinfection). Intoksikasiterjadi akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti toksin dari Clostridium botulinum, dan mikotoksin dari kapang.
Mikotoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari beberapa genus kapang seperti Aspergillus spp.,Penicillium spp., dan Fusarium spp. Kontaminasi mikotoksin dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia karena bersifat karsinogenik, teratogenik, hepatotoksik, neurotoksik dan nefrotoksik (Sengun et al. 2008). Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin, zearalenon, dan trikotesen. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus danA. parasiticus. Kapang tersebut dapat mengontaminasi bahan pakan ternak dan akan menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin yang ada dalam pakan jika terkonsumsi oleh hewan ternak akan meninggalkan residu aflatoksin pada produk ternak seperti daging, telur dan susu. Sapi perah yang mengonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan (Prandini et al. 2009).
Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang potensial sebagai sumber masuknya AFM1 ke dalam rantai pangan manusia. Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang stabil pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses penyimpanan. Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan mencapai 250 °C, sehingga masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005), susu ultra high temperature (UHT) (Heshmati & Milani 2010), susu bubuk (Al‑Sawaf et al. 2012), dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004). Keberadaan AFM1 dalam susu dapat mengganggu kesehatan manusia terutama bagi anak-anak karena dapat menyebabkan kanker hati (hepatocelluler carcinoma) (Prandini et al. 2009).
International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan AFB1 dan AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia dalam grup 1 (carcinogenic to human). Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati dan kanker hati apabila dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus menerus. Oleh karena itu banyak negara yang membatasi konsentrasi maksimum kandungan AFM1 dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 0.5 ppb dan Uni Eropa sebesar 0.05 ppb.Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan produk olahan susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 yaitu 0.5 ppb.
Keberadaan AFM1 pada susu segar dari beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor dan Pangalengan (Kabupaten Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel) terdeteksi AFM1 dengan konsentrasi 0.001-1.2 ppb (Widiastuti et al. 2006). Survey untuk mendeteksi AFM1 juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 57.5% konsentrasi AFM1 0.005-0.025 ppb (Nuryono et al. 2009).
Residu AFM1 dapat ditemukan pada susu akibat carry-over dari pakan. Mamalia laktasi yang mencerna AFB1 dalam pakan yang terkontaminasi akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa AFM1 ke dalam susu yang dihasilkan. Tingkat carry-over AFM1 bervariasi bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Kontaminasi AFM1 pada susu dan produk susu dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Oliveira et al. (2013), kontaminasi AFM1 dipengaruhi oleh lokasi geografis, negara, musim, kondisi lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan, penggunaan pakan konsentrat yang berlebihan dan kontaminasi aflatoksin B1 pada pakan dan biji-bijian selama penyimpanan.
Dampak dari residu AFM1 dalam susu perlu diperhatikan walaupun berada di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan karena paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang sangat rendah dapat mengganggu kesehatan manusia. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1 dalam pangan adalah mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan tambahan untuk sapi perah. Langkah pencegahan harus diterapkan untuk mengurangi pertumbuhan jamur dan pembentukan AFB1 pada komoditas pertanian yang digunakan untuk pakan ternak.
Dosis dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti paparan aflatoksin dalam dosisi tinggi mengakibatkan infeksi akut dan kematian akibat terjadinya sirosis hati.Paparan kronis aflatoksin dalam pangan merupakan risiko utama untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan heptoseluler karsinoma terutama di negara dimana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker hati merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka kejadian dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan 367 kasus (76%) berhubungan erat dengan sirrhosis hati, hepatitis B dan hepatitis C, sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang diduga karena karsinogen termasuk aflatoksin (Rasyid 2006).
Keberadaan residu AFM1 dalam susu perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk pengendalian AFM1 dalam susu. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1 dalam produk susuialah mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakankonsentrat untuk sapi perah. Langkah pencegahan harus diterapkan untuk mengurangi kontaminasi danpertumbuhan kapang serta pembentukan AFB1 pada komoditas pertanian yang digunakan untuk bahan bakupakan ternak. Pencegahan kapang dapat dilakukan dengan mempertahankan kelembaban yang rendah (kurang dari 14%), menjaga pakan tetap segar, menjaga peralatan tetap bersih dan menggunakan senyawa pencegah pertumbuhan kapang seperti asam propionat (Widiastuti 2006).
Daftar Pustaka:
Al-Sawaf SD, Abdullah OA, Sheet OH. Use of enzyme linked immunosorbent assay for detection of aflatoxin M1 in milk powder. 2012. Iraqi J Vet Sci. 26(1):39-42.
Celik TH, Sarimehmetoglu B, Kuplulu O. 2005. Aflatoxin M1 contamination in pasteurised milk. Vet Arhiv. 75(1):57-65.
Heshmati A, Milani JM. 2010. Contamination of UHT milk by aflatoxin M1 in Iran. Food Control. 21:19-22.
Nuryono N, Agus A, Wedhastri S, Maryudani YB, Setyabudi FMCS, Bohm J, Razzazi-Fazeli E. 2009. A limited survey of aflatoxin M1 in milk from Indonesia by ELISA. Food Control. 20:721-724.
Oliveira CP, Soares NFF, Oliveira TV, Junior JCB, Silva WA. 2013. Aflatoxin M1 occurence in ultra high temperature (UHT) treated fluid milk from Minas Gerais/Brazil. Food Control. 30:90-92.
Prandini A, Tansini G, Sigolo S, Filippi L, Laporta M, Piva G. 2009. On the occurrenc of aflatoxin M1 in milk and dairy products [review]. Food Chem Toxicol. 47:984-991.
Rasyid A. 2006. Temuan ultrasonografi kanker hati hepato selular (hepatoma). M Ked Nus. 39(2):100-103.
Sarimehmetoglu B, Kuplulu O, Celik TH. 2004. Detection of aflatoxin M1 in cheese samples by ELISA.Food Control. 15:45-49.
Sengun IY, Yaman DB, Gonul SA. 2008. Mycotoxins and mould contamination in cheese: a review.World Mycotoxin J. 1(3): 291-298.
Widiatuti R. 2006. Mikotoksin: pengaruh terhadap kesehatan ternak dan residunya dalam produk ternak serta pengendaliannya. Wartazoa. 16 (3):116-127.
Widiastuti R, Maryam R, Bahri S, Firmansyah R. 2006. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi segar di Pangalengan dan Bogor Jawa Barat. Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. hlm 239-243.
sumber : http://kesmavet.ditjennak.deptan.go.id/index.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar